Senin, 16 Maret 2015

Mengenal Tenun Filosofis Baduy

sahabat kami, djakri dari baduy dalam

Masyarakat adat Suku Baduy, selain terkenal dengan ritual dan gaya hidup mereka yang dekat dengan alam, ternyata menyimpan cerita menarik tentang tenun. Di Baduy, tenun bukan hanya sekedar kain, tapi juga identitas dan simbol status. 

Untuk mendapatkan tenun Baduy, caranya hanya satu, yakni berkunjung ke kampung  yang membuat tenun itu sendiri, yang terletak sejauh 120 km dari Jakarta. Kampung Cibeo adalah satu dari tiga kampung di Baduy Dalam (Baduy Kajeroan). Selain Cibeo, masih ada Kampung Cikartawana dan Kampung Cikeusik. Kampung-kampung di Baduy terletak di ketinggian 500-1.200 meter di atas permukaan laut dan berada di Pegunungan Kendeng yang merupakan daerah hulu Sungai Ciujung.  
Desa Ciboleger, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, adalah terminal wisata Baduy yang dibuka pada 1992 dan tempat terakhir kendaraan diperbolehkan masuk.

Pintu masuk utama menuju Baduy Dalam adalah Desa Kanekes di Baduy Luar. Jalur Kampung Kadu Keter pun boleh dicoba karena jarak tempuh akan lebih cepat ke Kampung Cibeo. Mulailah perjalanan dari terminal terakhir, Ciboleger. Jalur ini akan melalui kampung Kadu Ketug, Babakan Balingbing, Babakan Marengo, Gazeboh, dan Cipaler, baru masuk Cibeo. Mengingat perjalanan cukup panjang, disarankan untuk beristirahat di kampung terdekat dengan perbatasan antara Baduy Luar dan Baduy Dalam, yaitu Babakan Balingbing, Marengo, atau Gajeboh. Jarak untuk sampai ke Gajeboh memakan waktu 1 jam 30 menit dengan perjalanan sangat santai. 

Saya selalu memilih Kampung Balingbing sebagai tempat peristirahatan pertama. Selain hanya berjarak 45 menit dari terminal, salah satu warga di kampung ini, Kang Sarpin, memiliki rumah yang besar dan kamar mandi plus water closet (oleh adat setempat, sebenarnya membangun kamar mandi dan WC ini terlarang!). Perjalanan menuju Cibeo dilanjutkan keesokan harinya. 

Setelah menempuh lima jam perjalanan melewati jalan setapak melintasi bukit-bukit, sungai, dan beberapa perkampungan Baduy Luar, sampailah kita di Kampung Cibeo. Tanda pembatas memasuki Kampung Cibeo hanyalah rumbai yang diikatkan pada pohon besar. Memasuki kawasan tersebut berarti semua larangan adat diberlakukan, salah satunya larangan memotret.

Ada 90 rumah panggung atau suhunan beratap rumbia berdiri berjajar berhadap-hadapan dengan bentuk sama. Paku dan besi buatan pabrik pantang dipakai, semua suhunan hanya diikat dengan ijuk atau dipasak dengan bambu. Gelas dan ember pun terbuat dari bambu. Tidak ada piring di kampung ini. Masyarakat Baduy dalam hanya diperbolehkan menggunakan mangkuk. 

Warga suku Baduy Dalam tengah beristirahat di jembatan penyebrangan kampung Gazebo saat akan kembali ke kediamannya di kampung Cibeo dari perjalanannya ke kampung terluar. Suku pedalaman di Propinsi Banten ini memiliki tiga desa Baduy Dalam; Cibeo, Cikesik dan Cikartawana. foto & teks oleh : nury sybli
Masyarakat Baduy, yang memiliki kepercayaan Sunda Wiwitan, ini dikenal berfilosofi sederhana, ”Pondok teu meunang disambung, nu lojor teu meunang dipotong” (yang pendek tak boleh disambung dan yang panjang tak boleh dipotong). Maknanya, orang Baduy pada dasarnya menerima alam sebagaimana adanya. 

Masyarakat Baduy menjadi simbol kesederhanaan dan kejujuran. Bangunan rumah yang sangat sederhana, pakaian yang mereka kenakan, makanan yang mereka makan dan kebersamaan yang mereka bangun tidak lebih dari bentuk kesyukuran atas apa yang mereka terima dari Sang Kuasa.

Tidak ada televisi, tidak ada telepon (apalagi telepon seluler!), tidak ada internet, tidak ada alat-alat elektronik atau apa pun yang berbau kemodernan. Masyarakat Baduy Dalam hanya diperbolehkan menggunakan alat-alat rumah tangga yang sudah diatur oleh adat, di antaranya gelas untuk minum terbuat dari bambu, ember untuk mengangkut air—juga terbuat dari bamboo. Mereka memasak dengan tungku tradisional, dengan dandang dan kukusan, dan banyak lagi yang membedakan mereka dengan kehidupan modern. 

Baju yang mereka kenakan tidak diproduksi pabrik, tetapi dijahit dengan tangan. Kain sebagai pengganti celana juga hasil tenun sendiri. Umumnya masyarakat Baduy Dalam seragam dalam berpakaian: mengenakan baju warna putih dan kain berwarna biru dengan ikat kepala putih (untuk laki-laki) dan gelang yang terbuat dari tali akar pohon sebagai tolak bala (penangkal musibah). Dan tidak satu pun di antara mereka yang menggunakan sandal sebagai alas kaki.

Bukan hanya apa yang mereka pakai yang diatur oleh adat, rambut hingga rumah mereka pun ditentukan. Rambut laki-laki masyarakat Baduy Dalam tidak boleh dipotong sembarang dan kepala mereka harus diikat kain khusus. Rumah mereka harus berdiri tegak sejajar tanpa jendela.

Mereka tidak memakan sembarang makanan. Padi yang mereka tanam harus padi organik (tanpa pupuk). Semua tanaman masyarakat Baduy tidak menggunakan pupuk. Binatang ternak yang boleh dimakan orang-orang Baduy hanya ayam. Dalam setiap upacara adat seperti pesta pernikahan, melahirkan, sunatan, hingga kematian, ayam menjadi sajian utama.  

Kehidupan sehari-sehari masyarakat Baduy banyak dihabiskan di ladang, terutama oleh kaum perempuannya. Tapi tidak banyak yang mereka tanam. Hanya padi dan beberapa jenis pohon buah-buahan yang diperbolehkan oleh adat saja, salah satunya umbi-umbian dan buah durian.

Selain ke ladang, kaum laki-laki Baduy banyak menghabiskan waktu dengan membuat kerajinan seperti tas, gelang tolak bala, aksesori yang terbuat dari kulit kayu yang dirajut. Sebagian lagi pergi ke hutan mencari lebah untuk membuat madu atau membuat nira (gula merah). Jangan ditanya bagaimana rasanya madu Baduy dalam, dijamin cespleng!
kain aros yang biasa digunakan untuk kain laki-laki suku baduy dalam
Tenun Baduy 
Pada waktu-waktu senggang perempuan-perempuan Baduy menenun kain sarung atau selendang. Pemandangan ini hanya dapat ditemui pada waktu menunggu musim panen atau musim tanam usai. Dari memintal benang hingga menenun dilakukan para perempuan masyarakat Baduy di teras rumahnya.

Setelah jadi, selendang dan sarung Baduy ditawarkan kepada para pelancong. Harganya bervariasi, antara Rp25.000 sampai 30.000. Dengan bahan yang lebih banyak, kain sarung tenun khas Baduy ditawarkan seharga Rp70.000. Harga itu sama sekali tidak mahal. Maklum saja, bahan kimia untuk mewarnai benang didapat dari kota, dan ongkos ke kota bagi mereka cukup mahal. Pengerjaan kain selendang, apalagi kain sarungnya, butuh waktu selama kurang lebih dua minggu.

Motif tenun Baduy yang berupa garis-garis geometris memanjang merupakan representasi filosofi adat yang terus lestari hingga sekarang. Motif itu menjadi perlambang ”Pondok teu meunang disambung, nu lojor teu meunang dipotong”. Kendati sederhana, tenun Baduy juga berfungsi sebagai penanda status sosial penggunanya.

Berbeda dengan kampung tenun pada umumnya yang masing-masing penenun mendapat benang dengan membeli di kota, di Baduy, benang tenun (kanteh) diperoleh dari "distributor" benang, Misnah namanya. Wanita yang akrab disapa teteh (kakak perempuan dalam bahasa sunda) ini bekerjasama dengan adiknya, Arsid, 30, yang "bertugas" mewarnai benang.

Wanita berusia 35 tahun tersebut menjual benang-benang tenun yang sudah diwarnai ke para penenun seharga Rp4000 per ikat. "Saat musim kemarau atau sesudah panen, biasanya banyak yang membeli benang," ujar Misnah, sembari mengatakan dalam sehari dirinya bisa menjual lebih dari 30 kerentil (ikat) ketika musim menenun tiba.  

Selain dijual, di Baduy ada kebiasaan unik. Ada juga benang-benang yang tidak dijual, melainkan hanya dipinjamkan untuk ditenun dan hasilnya diberikan ke pemilik benang untuk dijual. Dari sistem tersebut, penenun memperoleh pembagian 50% dari hasil penjualan kain. Misnah menuturkan, dari 10 kerentil benang biasanya didapat empat 4 selendang kecil. Bila benang hanya dipinjamkan, maka si penenun akan memeroleh 2 kain selendang dan pemilik benang akan memeroleh sisanya.

Wanita yang dijadikan panutan di Kampung Balingbing ini mengatakan sistem "pinjam benang" di Baduy dilakukan agar kaum muda Baduy mau tetap melestarikan tradisi menenun meskipun tidak memiliki biaya untuk membeli benang, "Jadi tenun tetap lestari," tegas Misnah.

teh misnah, warga kampung Balingbing Baduy Luar.
Adapun dalam hal pewarnaan, Arsid mengatakan saat ini Suku Baduy tidak lagi menggunakan bahan alam melainkan bahan kimia. Perubahan ini persisnya tidak diketahui kapan, mengingat tenun Baduy dulunya hanya untuk kebutuhan busana sehari-hari. Dulu masyarakat Baduy tidak mengenal transaksi jual beli bahkan tidak mengenal mata uang, mereka hanya melaukan barter.

Tenun Baduy mulai diperdagangkan setelah banyak pendatang yang berkunjung ke kampung Baduy luar yang masyarakatnya lebih terbuka. Dan baru-baru ini tenun baduy mulai marak diperdagangkan sehingga permintaan benang juga meningkat. Benang yang diminati juga benang-benang berwarna hasil pencelupan karena warnanya lebih cerah. 

Arsid menuturkan, sebelum diwarnai benang terlebih dahulu dicuci. Sementara bahan pewarna dimasukkan ke dalam air mendidih, lalu diaduk rata atau (diguar-guar) selama 5-10 menit. Setelah itu, benang dimasukkan ke wajan (nyelep) dan didiamkan hingga beberapa menit lalu dibalik-balik hingga warnanya merata. Setelah warna menyatu, benang diangkat lalu dicuci disungai kemudian dijemur atau dipoe selama kurang lebih dua hari atau sampai benar-benar kering. Pencelupan ini hanya dilakukan satu kali setiap bulannya.

Di Baduy, penenun masih menggunakan alat tenun tradisional. Selain alat tenun, masyarakat Baduy juga memiliki beberapa alat pelengkap yakni golebag untuk menyimpan benang hasil pencelupan, alat pintal berupa kincir yang berfungsi menggulung benang;, juga pihanean atau alat untuk merangkai tenun.

Misnah mengatakan, benang setelah dipintal dimasukkan ke kandaian (wadah penyimpan benang selama penyusunan motif). Dari kandaian, benang ditarik atau dibelitkan ke pihanean. "Setelah itu, benang baru dimasukan ke alat tenun," katanya.

Adapun alat tenun tradisional Baduy terdiri dari caor (alat penahan belakang); hapit        (alat untuk menggulung tenun yang sudah menjadi kain); sisir (untuk membereskan tenun.  terbuat dari kulit pohon bangbang); barera (alat merapihkan anyaman atau mengencangkan motif tenun. Terbuat dari kayu pohon aren); jinjingan (untuk mengambil anyaman. Terbuat dari susunan benang-benang); limbuhan (mengatur benang yang terikat pada kerap (pengatur motif) dan yang tidak); patitihan; totogan (untuk menggulung benang yang sedang ditenun) dan teropong (penyimpan benang). Di Baduy, totogan ditempatkan pada cancangan atau sejenis alat yang terbuat dari bambu untuk menegakan sandaran tenun.

Dalam menenun, Suku Baduy sudah mengenal spesialisai, terbukti dari ahli pembuat alat tenun yang hanya satu orang di setiap kampung, yakni Kajali di Kampung Kadu Ketug dan  di Kampung Balingbing adalah Bapak Diman. Mereka selalu membuat alat tenun untuk dijual ke para pengrajin. Utamanya kepada yang belum memiliki alat tenun. 

Seiring berjalannya waktu, alat tenun Baduy pun berubah. Kajali mengatakan dulu, totogan berukuran lebih kecil dan hanya berfungsi membuat dua jenis kain saja. "Tetapi sekarang bisa untuk membuat 4, 6 hingg 8 jenis rangkaian kain," jelasnya. Selain totogan, cancangan juga sedikit berubah. Dulu cancangan dibuat lebih rendah, namun sekarang dibuat lebih panjang dan tinggi sehingga lebih nyaman digunakan.  Sisirnya pun berbeda, "Dulu hitungannya banyak, sekarang dibuat lebih mudah, antar garis jaraknya lebih lebar," terang Kajali, sembari menambahkan  alat tenun di kampung Balingbing umumnya baru, karena yang terdahulu sudah dilalap api saat kampung terbakar.

Seperti halnya tradisi menenun di Indonesia, Suku Baduy pun mengajarkan keahlian menenun secara turun-temurun, tapi ada juga yang mempelajari keahlian menenun secara otodidak. Misnah, misalnya. Dia sudah menenun sejak usia 15 tahun. "Belajar dari mertua, tetapi itupun tidak sempurna," akunya, menambahkan dirinya hanya diajari motif-motif yang sederhana. "Saya tidak diajari motif yang sulit," imbuhnya. Rasa penasaran membuat Misnah terus belajar, mencari cara efektif membuat motif-motif tenun yang apik. "Saya terus membuat yang sulit-sulit sampai akhirnya menemukan cara menenun yang efektif," terangnya, mencontohkan cara mengikat benang untuk limbuhan yang harusnya satu menjadi dua ikatan.

Sayangnya, semangat yang dimiliki Misnah tidak berjalan selaras dengan semangat para penenun lain di Baduy. Perempuan Baduy semakin sedikit yang menenun, mereka lebih suka ke ladang. "Saya merasa prihatin melihat anak-anak gadis sekarang tidak bisa tenun. Melihat kondisi ini saya memutuskan untuk mengajar tenun pada anak-anak," katanya. Bukan hal yang mudah memang, Misnah pun mengaku demikian. "Mulanya sulit, karena mereka merasa tidak memiliki cukup uang membeli alat dan benangnya," terang Misnah.  Dari situ dia pun berinisiatif meminjamkan benang dan membagi hasilnya 50-50. "Supaya mereka tetap bisa menenun meskipun tidak membeli benang," tegasnya.

Misnah mulai mengajar menenun kepada anak-anak sejak 1999. Harapannya sederhana, dengan adanya anak-anak gadis yang bisa menenun, tenun Baduy akan tetap lestari "Dan mereka menjadi generasi penerus," tambahnya. Saat ini Misnah memiliki 8 murid, yakni
Pulung, Pulung Asid, Rasid, Kartini, Janah, Artisa, Eroh dan Ambu Dadi.
Kartini, 14, mengatakan dirinya mulai belajar tenun sejak tahun lalu. "Saya senang," ujarnya polos. Dia kini sudah mahir membuat sabuk putih sederhana ataupun kain-kain bermotif sulit seperti Adu Mancung, Suat Songket dan Suat Balingbing. Kartini belajar menenun bersama anak-anak lain, termasuk Pulung, 11, yang sudah mahir membuat kain aros khas Baduy Dalam.

Biasanya, hanya perempuan yang menenun di Baduy, sementara para pria turun ke ladang. Namun ada pengecualian bagi Marno, 10. Bocah lelaki ini bahkan sudah mahir menenun. Dia bisa menghasilkan 4 kain dari alat tenunnya. Kain yang dia buat adalah motif salendang paranak baru.
ambu Icot.

Selain Misnah, ada juga Ambu Icot, 83, yang terus berusaha melestarikan tenun Baduy. Ambu Icot adalah salah satu tokoh yang menyebarkan motif suat songket pada wanita-wanita Baduy. Saat masih muda, di kampungnya hanya ada dirinya yang bisa menenun suat songket, dari situ dia berinisiatif untuk mengajarkan motif pada wanita lain meskipun awalnya sulit. Penyebaran itu dilakukan di beberapa desa diantaranya yaitu kampung Gazebo, Kampung Cicakal dan kampung Cipaler. Di usianya yang tak lagi muda, ambu tidak lagi menenun suat songket. Matanya tidak terlalu tajam untuk melihat benang. Kini ambu hanya menenun kain putih yang akan digunakan untuk masayarakat Baduy Dalam.

Suku Baduy mengenal banyak motif tenun, kendati semuanya bergaya geometris, seperti halnya sarung motif kacang herang dengan corak kotak-kotak kecil, biasanya digunakan untuk laki-laki dan perempuan. Sementara sarung poleng hideung dengan motif kotak-kotak besar hanya digunakan kaum lelaki. Adapun kain poleng paul yang memiliki motif garis biru tua dengan gradasi warna biru muda di ujungnya, digunakan untuk gendongan. Kain lainnya adalah Paranak Baru dan Paranak Suat (tenun garis), Adu Mancung yang diperuntukan sebagai ikat pinggang laki-laki, serta Sabuk Putih, kain putih panjang yang hanya  digunakan oleh kaum hawa.

Kain Poleng Pepetikan digunakan perempuan untuk ritual menumbuk padi yang baru dipanen (pare anyar). Kain ritual lain yang dibuat Suku Baduy adalah Poleng Kudup Melati, yang digunakan saat upacara sakral, seperti pernikahan. Sementara Poleng Magrib digunakan untuk menutup orang meninggal.

Kain khas lainnya yang menjadi ciri khas Suku Baduy adalah kain aros, yang hanya digunakan masyarakat Baduy Dalam. Cirinya berwarna hitam bergaris putih, dan hanya digunakan oleh laki-laki suku Baduy dalam. Garis-garis pada kain aros memiliki makna berbeda. Bergaris kecil digunakan untuk masyarakat pada umumnya dan garis besar digunakan untuk pemangku adat. Terdapat enam motif dalam kain Aros Baduy, yakni motif Paranak Sebelah digunakan untuk kain anak-anak, Paranak Angges digunakan untuk remaja, Poleng Pecak digunakan kepala rumah tangga yang masih muda, Paranak Cerek digunakan untuk perwakilan adat, Surat Awi Gede untuk perwakilan Pu’un dan Paranak Dua untuk Pu’un.

Selendang Khas Baduy
Jika kain songket merupakan tenun khas Palembang, maka di Baduy terdapat kain selendang Suat Songket yang merupakan warisan leluhur. Kain ini bahkan bisa disebut sebagai "Raja" tenun Baduy. Ciri khasnya terdapat motif seperti sulaman dan biasanya hanya digunakan saat upacara adat seperti pesta pernikahan, sunatan, ngasek di kakolotan atau syukuran panen padi di tetua adat. 

Warna yang menjadi khas dalah biru, hitam dan merah. Selain Suat Songket, Baduy juga memiliki kain adati lain berupa Suat Samata dengan coral yang lebih ringan. Kain tenun berupa selendang ini digunakan untuk menggendong bakul nasi saat upacara pesta. Untuk pembuatan suat songket dibutuhkan waktu satu minggu, tetapi bagi pemula, membutuhkan waktu sedikitnya dua minggu. 

Suku Baduy tidak mengenal motif baru untuk tenun, mereka hanya mengerjakan motif-motif yang telah ada sebelumnya. Hanya saja baru-baru ini, mereka mulai berani menggunakan varian warna pada benang. "Berbeda dengan dulu, hanya warna tertentu saja yang diajarkan oleh nenek moyang kita," ujar Misnah, menambahkan hal tersebut dilakukan guna memenuhi selera pasar.

Suku Baduy memiliki hari "larangan" dimana masyarakat dilarang menenun, yakni saat kawaluh yang terjadi setiap 3 bulan, ketika bulan purnama atau pada tanggal 16 tiap bulannya, yang disebut dengan pantang geneup belas. Konon, diyakini pada tanggal tersebut, dewa-dewi di kahyangan tengah menenun sehingga manusia dilarang untuk menenun diwaktu bersamaan. Saat bulan safar, ada 3 hari larangan. Bulan Safar terjadi sesudah bulan kawaluh.

Tiga Hari Kawaluh
Ayam dan telurnya diperlakukan berbeda pada saat Kawaluh. Dalam setahun, menurut pola penanggalan mereka, ada tiga bulan tertentu yang mereka sebut sebagai bulan suci. Masing-masing satu hari dari tiga bulan khusus ini mereka gunakan untuk berpuasa, termasuk berpantang memakan ayam dan telurnya. Hari dan tanggalnya tak tentu, tergantung petunjuk tetua adat. Itulah Kawaluh.

Puasa Kawaluh tidak serumit aturan umat Islam di bulan Ramadan, misalnya. Mereka berpuasa dari pagi sampai sore pada hari-hari tertentu itu dan hanya dilarang memakan makanan pendamping utama mereka: ayam dan telurnya. Aturan mengenai makanan yang lain tetap berlaku. Ayam dan telur ini aturan khusus untuk hari khusus dan bulan khusus bagi mereka.

Pada hari puasa ketiga di bulan suci semuanya menjadi jelas. Pada saat berbuka puasa hari puasa ketiga Kawaluh ini masyarakat Baduy justru diwajibkan memakan ayam dan telurnya. Kita pun jadi tahu bahwa ayam dan telur ayam akan menjadi menu utama pada puncak sekaligus penutupan bulan suci Kawaluh.

Dalam berbagai keyakinan, makanan, minuman, atau sesuatu yang menyenangkan hendaknya dipantang pada saat-saat tertentu sebagai jalan menuju kesucian. Di dalam berbagai keyakinan juga ada saat manusia merayakan hari-hari tertentu yang dianggap penting. Dua hal ini menyatu dalam Kawaluh dengan ayam dan telurnya.
perempuan baduy luar sedang menumbuk beras untuk membuat tepung di desa Gazebo.


Baduy Luar
Masyarakat Baduy Luar pada dasarnya memiliki aturan adat yang tidak banyak berbeda dengan Baduy Dalam. Hanya aturan di sini sedikit lebih longgar.

Anak-anak Baduy Luar kini diperbolehkan mengenakan celana jins, kaos, dan sandal layaknya anak-anak kota. Jejaring sosial seperti Facebook juga sudah dikenal. Artinya, budaya modern yang selama ini dinikmati masyarakat kota sudah mulai dirasakan oleh masyarakat Baduy Luar. Telepon genggam, radio, celana pendek, kaos, sandal kini menjadi tren anak muda Baduy.

Bagaimanapun, adat yang mereka yakini masih kental dalam keseharian mereka. Bangunan rumah yang terbuat dari kayu dan bambu dan tungku besar masih belum berubah. Kesederhanaan dan kebersamaan mereka juga belum banyak berubah.

Sarpin, ayah dua anak warga Kampung Balingbing, Baduy Luar, sengaja membangun rumah dengan ukuran yang luar biasa besar untuk menyediakan para pelancong yang mau menikmati kehidupan masyarakat Baduy tanpa bayaran sepeser pun. Bukan hanya itu, Sarpin juga membangun dua kamar mandi yang disediakan untuk umum di belakang rumahnya.

Para pelancong yang akan menuju Baduy Dalam umumnya singgah satu malam di Baduy Luar di kampung Gajeboh, Babakan Marengo, atau Balingbing. Bagi yang tidak biasa pergi ke sungai dan membutuhkan kamar mandi yang layak hanya bisa memenuhi kebutuhan dasar itu di kamar mandi kediaman Kang Sarpin. 
tidak membaca dan menulis. demikian seharusnya aturan yang diterapkan leluhur suku Baduy. seiring berkembangnya jaman, anak-anak suku Baduy luar sangat antusias untuk mengenal dunia kendati taat pada aturan. saya memberanikan diri membuat kelas sederhana dengan lampu dan alat tulis seadanya.

Membaca & Menulis
Masyarakat Baduy tidak diperbolehkan oleh adat untuk mendapatkan pendidikan dari bangku sekolah. Anak-anak Baduy sejak kecil dididik untuk berladang. Hal itu tampak dari permainan mereka, ngasek padi (menanam padi). Permainan ini butuh kekompakan dan ketepatan dalam pembagian peran. Sebagian anak laki-laki mematok tanah dengan kayu dan anak perempuan menebar benihnya. Sebagian anak laki-laki lainnya mengiringi dolanan ini dengan musik angklung dan gendang.    

Mereka hanya mendengar dan melihat. Meski begitu, sebagian masyarakat Baduy bisa membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Bila mereka memaksakan untuk mengenyam pendidikan formal, mereka diharuskan meninggalkan adat dan tentu harus keluar dari warga Baduy.

Mungkin karena larangan adat itu, justru minat belajar mereka cukup tinggi. Setiap ada pendatang (turis lokal) mereka antusias meminta diajari menulis dan membaca bahkan belajar bahasa asing (bahasa Inggris).

Mulyono salah satunya, pemuda tanggung berusia 16 tahun ini memiliki ketertarikan yang luar biasa untuk belajar bahasa Inggris. Sepanjang pengalaman saya menuju Baduy Dalam (Cibeo), Mulyono tidak jarang melontarkan pertanyaan dengan bahasa Inggris yang tengah ia pelajari.

Mulyono adalah satu contoh warga Baduy Luar yang mendobrak paradigma bahwa tidak sekolah bukan berarti tidak bisa membaca dan menulis.    
                                                                                                     

Magi dan Kuburan
Bila malam menjelang perkampungan Baduy gelap gulita. Tidak ada pelita, tidak ada lampu teplok, obor, apalagi lampu neon. Masyarakat baduy tidak diperbolehkan menggunakan energi yang didapat dengan cara canggih seperti listrik. Mereka juga tidak mau ada kebakaran di kampung. Karena itu mereka memilih bergelap-gelapan pada malam hari.

Dengan aturan adat yang ketat, dengan perkampungan yang senyap, gelap malam menjadi magis. Suasana magis pasti menyerang siap pun yang berkunjung ke Baduy, terutama pada malam harinya. Magi semacam ini rasanya hanya kita temukan di pekuburan yang seram, yang kerap dicuplik oleh film-film nasional sebagai pembentuk suasana horor.

Dengan persepsi modern dan cenderung salah kaprah itu, saya lantas bertanya kepada warga setempat, di mana lokasi pekuburan orang-orang Baduy yang sudah meninggal?
”Tidak ada,” jawab pendamping perjalanan saya. Tentu ini mengherankan.
”Dibakar?” kejar saya.
”Orang-orang yang mati itu dikubur di ladang keluarganya masing-masing. Tapi bila tujuh hari sudah berlalu, kuburan itu kembali boleh kami olah. Kami tanami tumbuhan yang biasa kami tanam di ladang.”

Jawaban itu meyakinkan karena terbukti pada siang hari tidak dapat saya temukan kompleks pekuburan sebagaimana perkampungan di tempat-tempat lain. Tampaknya mereka sadar benar bahwa lahir, hidup, dan mati adalah siklus alami yang tidak perlu direpotkan, ”Yang pendek tak boleh disambung dan yang panjang tak boleh dipotong.” Sederhana saja.

Buktinya, tanpa kuburan pun mereka tetap magis. Dengan sederhana saja mereka tetap tangguh.

Menuju Baduy
Bagaimana menuju Baduy? Mudah saja. Bagi anda yang memiliki kendaraan pribadi dianjurkan melewati tol Jakarta-Merak, keluar tol Serang Timur dan melewati Serang Kota menuju Rangkasbitung. Mobil pribadi dapat dititipkan kepada warga sekitar terminal terakhir di Kampung Ciboleger.
Pengguna kendaraan umum sebaiknya menggunakan kereta api tujuan Tanah Abang-Rangkasbitung. Untuk jurusan ini harga tiket kereta api kelas ekonomi Rp2.000, kelas ekonomi ekspres Rp4.000. Perjalanan kereta ini memakan waktu dua jam. Dari stasiun kereta menuju terminal Aweh, menggunakan angkutan umum berwarna merah dengan ongkos Rp3.000.

Dari terminal Aweh menuju Ciboleger butuhkan waktu perjalanan selama 1,5 jam sampai 2 jam, bergantung pada laju kendaraan. Tarif yang diberlakukan pun berbeda-beda, tergantung banyak atau sedikitnya penumpang. Harga terendah Rp15.000, bila penumpang penuh; harga dapat berubah-ubah menjadi Rp25.000 sampai R30.000, disesuakan dengan jumlah penumpang.  Pun, angkutan umum ini beroperasi pada pukul 5 pagi hingga pukul 2 sore saja.

Setiba di Ciboleger, Anda sebaiknya menemui Lurah atao Jaro Daenah untuk mengisi buku tamu sebagai pengunjung. Bila Anda tiba larut malam dan tidak ingin melanjutkan perjalanan, masyarakat Baduy menyediakan rumah singgah dengan fasilitas alakadarnya. Bisa juga menginap di rumah makan satu-satunya di Ciboleger, rumah makan Ibu Yati, juga dengan fasilitas alakadarnya dan biaya sukarela.

Namun bila Anda tetap melanjutkan perjalanan, masyarakat Baduy yang Anda jumpai dengan sukarela akan membantu menjadi porter. Mereka akan membawakan barang bawaan Anda sampai tujuan dengan tips seikhlas Anda.
Biasanya pelancong akan memilih Kampung Gajeboh sebagai persinggahan pertama karena kampung ini adalah kampung terakhir Baduy Luar yang berbatasan dengan Baduy Dalam, hanya dipisahkan oleh sungai dan jembatan gantung yang terbuat dari bambu. Namun tidak sedikit pelancong yang memilih singgah di Kampung Balingbing. Mengingat kampung ini adalah kampung pertama yang dijumpai setelah melakukan perjalan kurang lebih satu jam dari Ciboleger.